Oct 28, 2005

Mobil swa bahan bakar, mobil masa depan


Baru-baru ini, para peneliti kembali mengembangkan sebuah sistem unik yang memungkinkan mobil berbahan bakar hidrogen memproduksi sendiri hidrogen (self fueled car) menggunakan logam yang mudah ditemukan, magnesium dan aluminium. Seng murni sudah lebih dulu dikembangkan untuk memisahkan hidrogen dari air dengan mengikat atom oksigen.

Teknologi yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan Israel tersebut dapat mengatasi berbagai hambatan yang berhubungan dengan proses produksi, distribusi, dan penyimpanan hidrogen. Jika suatu saat dilempar ke pasaran, mobil yang memakai sistem tersebut dapat dijual dengan harga yang relatif sama dibandingkan mobil yang ada sekarang. Satu kelebihannya adalah bebas emisi gas buang.

Semakin menipisnya cadangan minyak dunia yang menyebabkan naiknya harga menyebabkan banyak pihak berusaha mencari sumber bahan bakar alternatif sebagai sumber energi di sektor otomotif. Sebelumnya, peneliti Israel dari Weizzmann Istitute menawarkan teknologi pemrosesan seng murni untuk menghasilkan hidrogen dari air menggunakan energi matahari yang murah.

Solusi berbeda inilah yang dikembangkan sebuah perusahaan Israel Engineuity berupa sistem yang ditanam di dalam mobil. Amnon Yogev, salah satu pendirinya, adalah profesor dari Weizzmann Institute. Ia menunjukkan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk memproduksi hidrogen secara kontinyu dan uap bertekanan konstan yang dibutuhkan mobil. Metode ini juga dapat digunakan untuk menghasilkan hidrogen untuk fuel cell dan berbagai aplikasi lain yang membutuhkan hidrogen dan uap.

Mobil hidrogen yang dikembangkan Engineuity menggunakan logam magnesium dan aluminium dalam bentuk gulungan kawat panjang. Tanki gas di dalam mobil biasa akan diganti dengan piranti yang disebut pembakar logam dan uap (metal-steam combustor) yang akan memisahkan hidrogen dari air.


Gagasan utama di balik teknologi ini begitu sederhana. Ujung gulungan logam dimasukkan ke dalam pembakar bersama-sama dengan air yang kemudian akan dibakar pada suhu tinggi. Atom logam akan mengikat oksigen dari air menghasilkan oksida logam. dengan demikian, molekul hidrogen bebas dan dikirim ke dalam mesin.

Tentu saja sistem tersebut dilengkapi mekanisme penggulung kawat logam selama proses produksi bahan bakar. Selain itu, tersedia juga pengisap oksida logam yang akan mengumpulkannya ke dalam tabung. Oksida logam sebagai produk sampingan kemudian dikumpulkan dalam stasiun bahan bakar dan dapat didaur ulang untuk keperluan industri logam.

Sistem yang dikembangkan ini lebih efisien dibandingkan solusi pemrosesan hidrogen lainnya. Uap panas yang dihasilkan dapat digunakan sehingga kinerjanya setangguh mobil konvensional.

Hanya saja, mobil harus menanggung berat yang lebih besar agar bahan bakar yang digunakan dapat dipakai untuk jarak yang jauh. Agar mampu mencapai jarak yang sama dengan mobil berbahan bakar fosil, dibutuhkan gulungan kawat logam dengan berat tiga kali lipat lebih besar daripada tangki minyak.

Sampai sekarang Engineuity mendapat program inkubasi dari Kepala Ilmuwan di Israel dan sedang mencari investor yang berminat untuk mendanai pengembangan prototipnya. Dari proposal yang disusun, kira-kira butuh tiga tahun untuk mengembangkan prototip tersebut.

Karena tidak terlalu banyak modifikasi pada mesin, pembuatannya dapat dibuat dengan proses produksi yang dipakai industri otomotif sekarang. Dengan tidak perlu banyak tambahan investasi infrastruktur baru, harga jualnya diperkirakan dapat dipertahankan agar tidak jauh berbeda dengan mobil konvensional.

Meskipun demikian, Engineuity tidak hanya akan memodifikasi mobil yang sudah ada tapi merencanakan juga untuk mendesain model mobil yang baru.

Sumber: physorg.com

Jul 7, 2005

Quantum Dots dan Sumber cahaya baru!


Suatu saat, sumber cahaya utama didapatkan bukan lagi dari bohlam atau lampu tabung. Bisa jadi meja, dinding, atau bahkan garpu menghasilkan cahaya untuk menerangi ruangan.

Penemuan sumber cahaya dari titik-titik kuantum (quantum dots) yang diumumkan minggu ini telah meningkatkan daya tawar light emitting diode (LED). Dengan temuan ini, harga LED dapat diturunkan sebab memberikan umur yang lebih lama daripada sumber cahaya konvensional menggunakan bohlam. Terobosan ini mendukung tren penggunaan LED yang pada akhirnya akan menggeser fungsi bohlam.

Sampai sekarang LED sudah banyak digunakan pada papan penunjuk lalu lintas, indikator di berbagai produk elektronika, dan aksesoris di gedung pertokoan dan pusat keramaian. LED dikenal fleksibel dan membutuhkan energi yang lebih kecil daripada sumber cahaya dari lampu pijar atau lampu tabung.

Titik-titik kuantum

Michael Bower, seorang mahasiswa di Vanderbilt University, AS secara tidak sengaja menemukan sumber cahaya alternatif tersebut saat sedang mencoba membuat titik-titik kuantum, kristal yang berukuran beberapa nanometer dan lebih kecil daripada satu perseribu lebar rambut manusia.

Titik-titik kuantum terdiri atas 100 hingga 1000 elektron. Mereka adalah pengumpul energi yang baik. Semakin kecil ukurannya, semakin baik kualitasnya. Setiap titik yang dihasilkan oleh Bower relatif kecil karena hanya terdiri atas 33 atau 34 pasang atom.

Ketika Anda menyinari titik-titik kuantum atau memberikan energi listrik padanya, mereka akan bereaksi dengan menghasilkan cahaya, normalnya terang dan bergetar. Tapi, ketika Bower menembakkan laser pada kumpulan titik-titik tersebut, terjadi sesuatu di luar dugaan.

"Saya terkejut ketika cahaya putih menyelimuti meja," kata Bower. "Titik kuantum diduga akan menghasilkan warna biru tapi sebaliknya justru memancarkan cahaya berwarna putih," lanjutnya.

Kemudian Bower dan mahasiswa lainnya berpikir untuk menggerakkan titik-titik tersebut ke dalam polyurethane dan melapiskan campuran tersebut ke permukaan LED berwarna biru. Bentuknya memang tidak rata tapi menghasilkan cahaya berwarna putih mirip bohlam.

Penghasil cahaya ini tidak mengeluarkan panas. Cahayanya yang berwarna putih kekuningan dua kali lebih terang dan 50 kali lebih tahan lama daripada bohlam 60 watt. Hasil penelitian ini dipublikasikan secara online dalam Journal of the American Chemical Society edisi 18 Oktober.

Lebih baik daripada bohlam

Hingga akhir dekade lalu, LED hanya dapat digunakan untuk menghasilkan cahaya berwarna hijau, biru, merah, dan kuning sehingga penggunaannya terbatas. Kemudian dikembangkan LED warna biru yang kemudian diubah untuk menghasilkan cahaya berwarna putih.

LED dapat dipakai hingga 50 ribu jam. Departemen Energi AS memperkirakan bahwa penggunaan LED dapat menurunkan konsumsi energi untuk penerangan sebanyak 29 persen pada 2025. LED tidak menghasilkan panas sehingga menghasilkan energi yang efisien. Selain itu, LED lebih tahan dari kerusakan atau pecah.

Para ilmuwan berharap LED dapat menggantikan lampu pijar dan lampu tabung. Jika proses baru ini dapat dikembangkan menjadi produk komersial, sumber cahaya tidak hanya berasal dari sebuah bola lampu. Campuran titik kuantum dapat dipakai untuk melapisi segala sesuatu dan menyerap energi listrik untuk diubah menjadi cahaya berwarna-warni termasuk putih.

Jun 27, 2005

Konsumsi Energi Dunia Naik 4,3%

Tahun 2004
Konsumsi Energi Dunia Naik 4,3%


Jakarta - Konsumsi energi dunia selama tahun 2004 meningkat 4,3 persen, yang merupakan peningkatan tahun terbesar terhadap konsumsi energi primer sejak tahun 1984. Peningkatan permintaan yang tersebar luas secara geografis ini merupakan suatu hal yang tidak umum.

Demikian disampaikan Kepala Bidang Analisa Energi dari Unit Ekonomi BP Plc, Michael D Smith saat memaparkan 'BP Statistical Review of World Energy 2005' di Hotel JW Marriott, Jakarta, Senin (27/6/2005).

Angka pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai 9,5 persen pada tahun 2004 terkalahkan oleh tingginya peningkatan permintaan energi di negara tersebut, yang meningkat 15,1 persen. Sejak tiga tahun terakhir, permintaan energi di Cina telah meningkat 65 persen, yang merupakan separuh lebih dari peningkatan permintaan dunia. Cina mengonsumsi 13,6 persen dari seluruh total energi dunia.

Di luar Cina, permintaan energi dunia meningkat 2,8 persen yang merupakan peningkatan tercepat sejak 1996, dan dua kali lipat dari tingkat permintaan tahun 2002.

Setiap kawasan mengalami peningkatan di atas rata-rata. Namun permintaan dari negara-negara Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) tumbuh pada angka 4,8 persen, yakni kurang lebih tiga kali lebih cepat dari negara-negara OECD.

Di luar Cina, India tercatat sebagai sumber terbesar tunggal dari pertumbuhan energi untuk negara non-OECD, dengan tingkat permintaan tumbuh sebesar 7,2 persen.

Konsumsi dan Produksi Minyak

Khusus untuk konsumsi minyak pada tahun 2004, meningkat 3,4 persen atau 2,5 juta barel per hari (bph). Angka ini berarti pertumbuhan tercepat sejak tahun 1978.

Peningkatan permintaan di Cina lebih dari sepertiga permintaan kebutuhan dunia, dengan lonjakan hingga 15,8 persen, atau mendekati 900 ribu bph.

Produksi minyak meningkat untuk memenuhi permintaan, yakni melebihi angka 80 juta bph untuk pertama kalinya pada tahun 2004. Di luar OPEC, produksi meningkat sebanyak 965 ribu bph, jauh di atas jumlah rata-rata selama 10 tahun terakhir. Pertumbuhan produksi Rusia tercatat yang tercepat, yakni mencapai 750 ribu bph.

Produksi OPEC juga meningkat secara cepat, mencapai 8 persen menjadi 32,9 juta bph yang merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai sejak tahun 1986. Peningkatan produksi terbesar dipimpin oleh Irak, disusul Arab Saudi dan Venezuela.

Konsumsi dan Produksi Gas

Untuk konsumsi dunia terhadap gas pada tahun 2004 meningkat 3,3 persen, melebihi pertumbuhan rata-rata selama 10 tahun yang hanya mencapai 2,6 persen. Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, konsumsi gas di Amerika Utara dinyatakan datar saja akibat kenaikan harga yang tinggi dan cuaca yang bersahabat. Di luar Amerika Utara, konsumsi gas meningkat 4,3 persen.

Produksi gas meningkat di berbagai belahan dunia, kecuali Amerika Utara. Di Eropa, pertumbuhan produksi gas seperti Belanda, Norwegia dan Rusia bertolak belakang dengan penurunan yang terjadi di Inggris.

Untuk harga gas juga meningkat, yakni rata-rata patokan harga gas, menurut Henry Hub Amerika, naik mencapai US$ 5,85 per mmbtu. Angka ini merupakan kenaikan rata-rata tahunan tertinggi.

Batu Bara

Konsumsi batu bara dunia meningkat 6,3 persen, dengan tiga per empat peningkatan datang dari Cina. Di luar Cina, permintaan datang dari kawasan Asia Pasifik.

Sepanjang tahun 2004, harga batu bara mengalami peningkatan tercepat dari semua jenis bahan bakar fosil. Harga patokan Eropa naik 69 persen, yang dipicu oleh turunnya ekspor batu bara Cina, yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari dalam negeri.
(qom/det/ttgenrg)

Jun 21, 2005

Swedia Pelopori Kereta Api Bertenaga Biogas

Kereta api pertama yang menggunakan biogas, sumber energi dari sampah organik, akan diresmikan di Swedia, Senin (20/6). Jalur yang akan dilalui sepanjang 80 kilometer menghubungkan Linkoeping, selatan Stockholm dengan Vaestervik, kota di pantai timur. Namun, kereta biogas itu hanya menarik satu gerbong berisi 54 penumpang.

"Inilah kereta api pertama di dunia yang berbahan bakar biogas," kata Carl Lilliehoeoek, pimpinan perusahaan Svensk Biogas yang memiliki kereta tersebut.

Kendaraan tersebut merupakan hasil modifikasi kereta api Fiat bermesin diesel yang diganti dengan dua mesin bertenaga gas Volvo. Mesinnya dirubah agar kereta api lebih ramah lingkungan karena pembakaran biogas, seperti juga biofuel yang lain tidak menghasilkan polutan udara.

Biogas terbuat dari kotoran hewan dan manusia, yang bercampur dengan air dalam tangki. Ketika kotoran tersebut mengalami pembusukan, terbentuk gas yang akan disalurkan sebagai bahan bakar. Gas yang dihasilkan kemudian dikemas dalam tabung.

Kereta api biogas dilengkapi dengan tujuh tabung yang cukup untuk berjalan 600 kilometer dan dapat diisi ulang. Selain itu Lilliehoeoek mengklaim kereta tersebut bisa melaju hingga kecepatan 130 kilometer per jam.

"Cara kerjanya benar-benar handal dan seusai harapan, seperti halnya bis dan mobil di Swedia yang telah menggunakan biogas," katanya.

Berdasarkan laporan kementrian lingkungan hidup Swedia, negara di semenanjung Skandinavia tempat hidup sembilan juta orang itu, saat ini memiliki 779 bis dan lebih dari 4500 mobil yang menggunakan campuran BBM dan biogas atau gas alami.

Swedia telah mengambil ancang-ancang lebih dulu untuk memenuhi desakan Eropa agar setiap negara mempromosikan bahan bakar bio dan sumber energi terbarukan lainnya untuk transportasi menggantikan bensin dan diesel.

"Swedia memiliki ambisi bahwa pada 2005 terdapat tingkat penggantian 3 persen," kata Lars Guldbrand, ahli energi di kementrian lingkungan hidup Swedia. Targetnya menjadi yang paling tinggi ai antara negara-negara anggota Uni Eropa yang rata-rata 2 persen.

Guldbard berpendapat bahwa kereta api bertenaga biogas merupakan pilihan yang sangat menarik dan berharap masa depan energi ramah lingkungan bisa cerah di kemudian hari. "Minyak semakin mahal dan langka, sehingga kita membutuhkan sumber yang lain," katanya menekankan.

Selain baik untuk lingkungan, biogas memiliki nilai tambah karena dapat diproduksi secara lokal. Dengan demikian, persediaannya tidak tergantung impor, demikian Lilieohoek dan Guldbrand menekankan.

Kereta api berbahan bakar biogas juga ramah lingkungan ditinjau dari berbagai aspek. Tidak seperti kereta api listrik, misalnya. Meskipun tidak menghasilkan polusi, namun jenis ini seringkali menggunakan sumber energi yang tidak ramah lingkungan.

Hampir setiap metode untuk menghasilkan listrik selalu terdapat masalah. Membakar batubara menghasilkan polusi udara terbesar saat ini, yang berarti merugikan udara, air, dan tanah yang berpengaruh kepada kesehatan manusia.

Listrik tenaga air membutuhkan bendungan yang pembangunannya dapat merusak dan membunuh ekosistem di sekitarnya. Sementara itu, menghasilkan energi dari angin dan matahari hanya bekerja saat angin bertiup atau terdapat sinar matahari yang cukup sehingga turbin berputar.

Oleh karena itu, sumber energi terbarukan yang juga dapat disimpan lebih mudah seperti biogas sepertinya solusi yang sempurna. Tapi, menurut Guldbrand, yang masih menjadi hambatan adalah produksi biogas yang lebih mahal dibandingkan diesel.

Untuk kereta api ini saja, Svensk Biogas memerlukan dana 10 miliar Kronos atau sekitar 1,3 juta dollas AS untuk mengembangkan. Rencananya, kereta pertama akan dioperasikan September nanti oleh SJ, perusahaan angkutan kereta api di Swedia.(AFP/Wah/ttgenrgi)

Jun 10, 2005

Baterai Nuklir, kuat sampai 12 tahun!

Future Fuels


BAterai Sakti


Baterai baru dengan basis peluruhan radioaktif material nuklir telah dikembangkan lebih jauh menjadi 10 kali lebih kuat dari prototipe-nya. Baterai sakti ini bisa tahan sampai 12 tahun tanpa melakukan doping (charging) sama sekali.

Ketahanan baterai ini memungkinkannya digunakan sebagai sumber energi bagi peralatan-peralatan yang penggunaannya dalam waktu lama tanpa pengisian seperti peralatan yang ditanam dalam tubuh (jantung buatan, paru-paru buatan dan lain-lain) atau juga sebagai sumber energi pesawat ruang angkasa dan peralatan selam laut dalam.

Dalam jangka waktu tak lama lagi, mungkin kita akan menemukan peralatan sensor ataupun peralatan kecil dirumah kita yang telah menggunakan baterai sakti ini. "Berbagai peralatan tidak akan lagi memerlukan penggantian baterai yang cukup merepotkan abgi penggunanya" kata Philippe Fauchet, electrical engineer dari University of Rochester. Pengembangan baterai ini dilakukan University of Rochester dengan pendanaan yang berasal dari National Science Foundation dan telah dipatenkan oleh BetaBatt Inc.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Teknologi baterai sakti ini disebut juga betavoltaics. Teknologi ini menggunakan lapisan silikon untuk menangkap elektron yang dipancarkan oleh gas radioaktif seperti tritium. Mekanismenya mirip dengan solar sel yang mengubah cahaya matahari menjadi listrik.

Sampai sekarang betavoltaics masih belum dapat mencapai efisiensi sebagaimana dicapai oleh solar sel. Sebabnya sederhana: Ketika gas meluruh, elektron-elektron-nya terpancar ke segala arah dan sebagian besarnya hilang tanpa termanfaatkan.

Menurut Fauchet, "Selama 50 tahun, para peneliti telah melakukan penelitian untuk merubah peluruhan material nuklir menjadi energi yang berguna, tetapi efisiensinya selalu rendah. Kami telah menemukan suatu cara untuk membuat interaksi pengubahan tersebut menjadi lebih efisien, dan kami berharap penemuan ini akan membawa pada penemuan baterai jenis baru yang dapat mengeluarkan energi selama bertahun-tahun."

Tim yang dipimpin Fauchet menggunakan permukaan silikon datar, dimana elektron-elektron ditangkap dan diubah menjadi listrik, dan mengubah permukaan silikon menjadi tiga dimensi dengan menambahkan "deep pit".

MAsing-masing pit memiliki lebar satu mikron dan terdapat sekitar 40 deep.

Tritium adalah bentuk radioaktif dari Hidrogen. Dicampur dengan zat kimia yang dapat memancarkan cahaya, biasa digunakan untuk tanda keluar (yang bersinar tanpa listrik) di gedung-gedung.

"Teknologi ini sangat aman dan dapat ditanam dalam tubuh," kata Fauchet. "Partikel berenergi yang dipancarkan oleh Tritium tidak membahayakan tubuh."

"Tritium hanya memancarkan energi rendah yang dapat tertahan oleh material sangat tipis seperti selembar kertas," kata Gadeken dari BetaBatt. "BAterai akan dibungkus dengan metallic BetaBattery yang akan menghalangi pancaran sinar radioaktif seperti baterai umumnya yang aman tanpa adanya kebocoran zat kimia-nya."

Masih Perlu Perbaikan

Proses manufaktur baterai sakti ini sesuai standar industri pembuatan semikonduktor, sehingga tidak diperlukan teknologi produksi baru untuk membuatnya hinga beredar dipasaran. "Harap bersabar sekitar dua tahun lagi sebelum anda menemukannya di rak-rak supermarket di Amerika", kata Fauchet.Tim-nya saat ini sedang mencoba memperbaiki proses manufaktur sehingga mencapai efisiensi yang jauh lebih baik dari saat ini.

yah....kita tunggu saja si-Fauchet dan tim-nya menyediakan baterai sakti ini.
:)

Pembangkit Listrik Tenaga Bakteri

Biomass

Spesies tertentu Desulfitobacteria tak hanya membersihkan limbah tapi juga menghasilkan listrik.

Para ilmuwan telah lama mempelajari bakteri yang dapat membersihkan limbah beracun. Salah satunya bakteri yang menjadikan limbah sebagai makanannya. Jenis bakteri tertentu ternyata tidak hanya memakan limbah, tapi juga menghasilkan listrik. Saat ini telah ditemukan bakteri yang makan racun 24 jam selama seminggu sekaligus menghasilkan listrik. Penemuan ini telah dipresentasikan pada Pertemuan Umum ke 105 American Society for Microbiology.

Biomass

"Bakteri tersebut mampu menghasilkan listrik secara terus-menerus dan pada tingkat tertentu dapat digunakan untuk menjalankan peralatan listrik berdaya rendah," kata Charles Milliken dari Universitas Kedokteran Carolina Selatan. Penelitian ini dilakukan bersama koleganya Harold May.

"Selama bakteri dipasok bahan bakar (limbah), dapat dihasilkan listrik selama 24 jam sehari," lanjutnya. Penemuan ini disampaikan Selasa (7/6) dalam Sidang Umum American Society of Microbiology.

Penelitian baru terhadap Desulfitobacteria berhasil mengungkap kemampuannya untuk menghancurkan dan mengatasi polutan yang paling bermasalah antara lain PCB (Polychlorinated biphenyl) dan beberapa larutan kimia.

"Bakteri ini memiliki kemampuan metabolisme yang sangat berbeda dengan yang lain, misalnya makanan yang dapat dikonsumsi," ungkap Millikan. Artinya, bakteri tersebut dapat mengubah berbagai jenis limbah dalam jumlah besar sebagai sumber listrik. Menurutnya, teknologi ini dapat digunakan untuk membantu reklamasi pengairan yang tercemar dengan membersihkan limbah sekaligus menghasilkan listrik.

Bakteri menjalankan fungsi yang berguna saat berada pada kondisi spora, tahap perkembangan yang tahan terhadap panas ekstrim, radiasi, dan minimnya air. Sifat-sifat yang dimiliki organisme ini, sangat cocok untuk dipekerjakan pada lingkungan yang mustahil dilakukan oleh manusia.

Bukan mustahil, suatu saat akan diciptakan pembangkit listrik tenaga bakteri yang selain merupakan sumber energi terbarukan juga menjadi solusi bagi kesehatan lingkungan karena mampu menguraikan berbagai limbah berbahaya.

So....siapa tahu?
:)

May 6, 2005

Biodiesel: Dari wajan penggorengan menuju tangki solar mobil

Biomass

Biodiesel?
Mungkin banyak dari kita akan berkerut mendengar kata tersebut. Bagaimanapun juga, selama ini kita mengenal diesel (solar) adalah bahan bakar yang merupakan salah satu fraksi minyak bumi. Bagaimana mungkin bisa ada embel-embel "BIO"-nya?

Jawabnya, mungkin saja....
Embel-embel "bio" diperoleh dari sumber bahan pembuatnya yang berasal dari minyak nabati (vegetable oil). Melalui proses transesterifikasi, minyak nabati atau sering kita kenal sebagai minyak goreng yang merupakan gugus trigliserida diubah menjadi gugus alkil ester. Dengan bantuan Natrium Hidroksida (NaOH - disebut juga Caustic Soda) atau Kalium Hidroksida (KOH) sebagai katalis gugus trigliserida digantikan dengan alkohol (metanol ataupun etanol) menjadi metil ester atau etil ester tergantung jenis alkohol yang digunakan.

Berbagai Keuntungan
Saat ini biodiesel telah banyak digunakan terutama di negara maju dan menjadi alternatif bagi bahan bakar pengganti minyak solar konvensional yang bersih dan ramah lingkungan. Biodiesel dari minyak goreng menghasilkan emisi yang lebih rendah 47% dari solar konvensional, menghasilkan asap yg lebih sedikit, dan mengandung lebih sedikit sulfur, bahkan tercium seperti french fries. Tak heran jika suatu saat biodiesel sudah menjadi bahan bakar utama kendaraan, jalanan tidak lagi dipenuhi bau asap yang mengganggu, tetapi harum bau french fries yang tercium.

Banyak keuntungan dari penggunaan biodiesel bagi bahan bakar kendaraan. Pertama, biodiesel dibuat dari bahan terbarukan yang sumbernya tidak akan habis jika dikelola dengan baik. Hal ini berbeda dengan bahan bakar dari fosil yang sangat mungkin akan habis dalam waktu tidak lama lagi. Cadangan minyak indonesia misalnya, diperkirakan jika produksi nasional tidak berbeda dari kondisi saat ini yaitu 0,5 milyar barrel per tahun dan tidak lagi ditemukan cadangan baru, maka cadangan minyak bumi Indonesia sebesar 5 milyar barrel akan habis dalam waktu 10 tahun lagi!!!

Keuntungan lain, biodiesel dapat diproduksi secara lokal sehingga dapat mengurangi biaya distribusi. Dengan membangun pabrik-pabrik di banyak tempat, disesuaikan dengan lokasi sumber dan konsumen, penghematan biaya distribusi dapat dilakukan. berbeda dengan kilang minyak bumi yang biasanya dibangun dalam skala besar dan terpusat, pabrik biodiesel dapat dibuat dalam skala kecil. BPPT misalnya telah memiliki pabrik pembuatan biodiesel dengan skala delapan ton per hari.

Bagi mesin, biodiesel dapat dikatakan merupakan bahan bakar ideal. Biodiesel selain menjadi bahan bakar, juga mempunyai sifat pelumasan yang baik bagi mesin sehingga mesin akan lebih awet.

Belum Bisa Bersaing
Sayangnya, biodiesel secara ekonomis belum bisa bersaing dengan diesel konvensional. Harga di Indonesia misalnya, saat ini masih jauh lebih mahal. Sebagai contoh, biodiesel produksi BPPT dijual secara komersial seharga Rp. 6.000,- per liter jauh dari harga solar yang hanya Rp. 2.400,- per liternya.

Dengan kondisi tersebut, pemakaian biodiesel biasanya tidak murni 100%. Penggunaan biodeiesel saat ini masih dicampur dengan diesel konvensional. Biasanya dalam penyebutan jumlah campuran dilambangkan dalam BX, misalkan B5 menunjukkan bahwa diesel/solar tersebut mengandung 5% biodiesel. Biodiesel yang dijual dipasaran/stasiun pengisian bahan bakar biasanya adalah B10 atau B20.

POM biodiesel
Sebuah Harapan
Kondisi ini diwaktu mendatang mungkin akan berubah. Jika teknologi pembuatannya dapat lebih murah dan produsen/konsumen diberikan insentif untuk memproduksi/menggunakan biodiesel, maka bukan tidak mungkin pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar ramah lingkungan akan menjadi bahan bakar utama transportasi kita. Dalam kasus Indonesia, mungkin jika subsidi BBM (dari minyak bumi) dicabut dan diberikan kepada biodiesel (atau bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan lainnya), maka biodiesel akan dapat bersaing dengan bahan bakar konvensional yang berasal dari fosil.

Dan suatu saat jika penggunaan biodiesel sudah seperti penggunaan solar konvensional saat ini, mungkin kita tidak lagi menutup hidung setiap kali ada kendaraan yang lewat di jalan.
:)

Apr 29, 2005

Water sparks new power source

Water sparks new power source

A new way to generate electricity from water which could be used to power small electronic devices in the future has been developed by Canadian scientists.

It could provide new power for chips
The researchers have harnessed what happens to water when it is pumped through tiny channels.

"What we have achieved so far is to show that electrical power can be directly generated from flowing liquids in microchannels," said Professor Larry Kostiuk from University of Alberta.

The team says its "electrokinetic" battery could be further developed to provide a clean, non-polluting power source that could eventually drive small devices such as mobile phones.

But some experts in the field have cast doubt over its potential as a useful source of power.

Early promise

The research by Professor Kostiuk and colleague Professor Daniel Kwok is published by an Institute of Physics journal.

It is said to be the first new method of generating electricity in over 150 years.

The work is all to do with charge separation, and what happens to ions in liquids when they come into contact with a non-conducting solid.

How it works

Its best first application might be in the field of micro-electronic mechanic systems, like labs which are being built on computer chips which require power

Professor Kostiuk, University of Alberta
The team created a glass block, two centimetres in diameter and three millimetres thick, containing about 400,000 to 500,000 individual channels.

Thanks to a phenomenon called the electric double layer, when water flows through these 10-micron-diameter-wide channels, a positive charge is created at one end of the block and a negative charge at the other - just like a conventional battery.

The prototype generated about 10 volts with a current of around a milliamp. This allowed the team to successfully power a lightbulb.

The scientists stress their work is in its early stages.

Nano application

"The applications in electronics and microelectronic devices are very exciting," said Professor Kostiuk.

"This technology could provide a new power source for devices such as mobile phones or calculators which could be charged up by pumping water to high pressure."

They suggest more research needs to be done to develop the potential of how their prototype device can be turned into a battery for commercial use.

One mechanical engineering expert BBC News Online spoke to was hesitant about the potential uses of this energy source, however.

Dr Jon Gibbins from Imperial College London said he could only see it generating a small amount of power on a small scale, so it might have uses on a nanotech scale.

"Its best first application might be in the field of micro-electronic mechanic systems, like labs which are being built on computer chips which require power," said Professor Kostiuk, but the research is still in its infancy.

Improving efficiency

Making electricity from water is by no means new.

Large-scale power generation already happens with hydroelectric power turbines which are almost 100% efficient at converting available energy in the water to electricity.

Magnetohydrodynamic methods also generate electricity through water.

What Professor Kostiuk and his team have achieved is create a kind of turbine device that does not have moving parts.

"Efficiency is a fraction of 1% and right now we are trying to fully understand the characteristics of such devices.

"The real goal is to find ways of improving its efficiency to around four to 16% to compete with other energy sources."

When water is forced through thousands of tiny microchannels in a negatively-charged glass filter, a positive layer is created at one end, and a negative one at the other - exactly as in a conventional battery
This phenomenon is called an electrical double layer
When electrodes are attached at either end, an electric charge can be tapped. The prototype battery generated about 10 volts

Apr 28, 2005

Artificial photosynthesis for future energy production

Artificial photosynthesis for future energy production
February 21, 2005
Example
Nature utilizes energy from the sun for its production. Some algae produce hydrogen from water with the help of solar energy. So why not imitate nature to extract renewable energy without harming the environment? The EU is now giving European research a boost by allocating €1.8 million to a new network to be led by Uppsala University.

Plant photosynthesis has long been studied with an eye to understanding its underlying mechanisms and then applying this knowledge to the production of energy for the needs of society. Today, hydrogen is regarded as one of the most promising forms of fuel for the future. A new European network, SOLAR-H, has now been established to bring together research competence from different fields.

“The network consists of laboratories that lead the world in a broad spectrum of fields from molecular biology, biochemistry, and synthetic chemistry to physical chemistry,” says Professor Stenbjörn Styring at the Section for Biomimetics at Uppsala University.

He recently moved to Uppsala from Lund University, together with his research team, and he will now be coordinating the new network, which was initiated in Sweden and the Consortium for Artificial Photosynthesis. With the move to Uppsala the Consortium will now be able to gather most of its research at one university, having previously been split up at three different ones. Uppsala already had Leif Hammarström’s team in chemical physics and Peter Lindblad’s group in physiological botany. A further team has now been assembled around synthetic chemists that recently came to Uppsala from Stockholm University in connection with Styring’s move.

“We now have about 40 individuals gathered at Uppsala and are full of enthusiasm about the future,” he adds.

With its breadth, the Uppsala team will be able to apply many different approaches simultaneously. Lindblad’s team is studying living cyanobacteria (a kind of alga) and is altering their metabolism at the genetic level so they produce hydrogen without absorbing it at the same time. Styring heads a team that is studying the mechanisms of natural photosynthesis at the biochemical level, while a third team led by a group of young scientists are busy synthesizing the molecule complexes necessary to imitate the natural process. In Leif Hammarström’s team the rapid and complex reactions can be studied using a series of different physical methods of measurement.

“We think artificial photosynthesis has tremendous potential, even though it remains to be demonstrated. It’s a scientific challenge, and if we succeed, the market will be gigantic.”

Other laboratories in SOLAR-H are in France, Germany, Hungary, the Netherlands, and Switzerland.

Renewable Energy vs. Fossil Fuels

Renewable Energy vs Fossil Fuels

In Chapter 8, we discussed the world's supply of fossil fuels -- oil, coal and natural gas and how it is being depleted slowly because of constant use. Fossil fuels are not renewable, they can't be made again. Once they are gone, they're gone.

In Chapters 11 to 16, we learned that there's no shortage of renewable energy from the sun, wind and water and even stuff usually thought of as garbage -- dead trees, tree branches, yard clippings, left-over crops, sawdust, even livestock manure, can produce electricity and fuels -- resources collectively called "biomass."

The sunlight falling on the United States in one day contains more than twice the energy we consume in an entire year. California has enough wind gusts to produce 11 percent of the world's wind electricity. Clean energy sources can be harnessed to produce electricity, process heat, fuel and valuable chemicals with less impact on the environment.

In contrast, emissions from cars fueled by gasoline and factories and other facilities that burn oil affect the atmosphere. Foul air results in so-called greenhouse gases. About -81% of all U.S. greenhouse gases are carbon dioxide emissions from energy-related sources.

Renewable energy resource development will result in new jobs for people and less oil we have to buy from foreign countries. According to the federal government, America spent $109 billion to import oil in 2000. If we fully develop self-renewing resources, we will keep the money at home to help the economy.

Continued research has made renewable energy more affordable today than 25 years ago. The cost of wind energy has declined from 40¢ per kilowatt-hour to less than 5¢. The cost of electricity from the sun, through photovoltaics (literally meaning "light-electricity") has dropped from more than $1/kilowatt-hour in 1980 to nearly 20¢/kilowatt-hour today. And ethanol fuel costs have plummeted from $4 per gallon in the early 1980s to $1.20 today.

But there are also drawbacks to renewable energy development.

For example, solar thermal energy involving the collection of solar rays through collectors (often times huge mirrors) need large tracts of land as a collection site. This impacts the natural habitat, meaning the plants and animals that live there. The environment is also impacted when the buildings, roads, transmission lines and transformers are built. The fluid most often used with solar thermal electric generation is very toxic and spills can happen.

Solar or PV cells use the same technologies as the production of silicon chips for computers. The manufacturing process uses toxic chemicals. Toxic chemicals are also used in making batteries to store solar electricity through the night and on cloudy days.. Manufacturing this equipment has environmental impacts.

Also, even if we wanted to switch to solar energy right away, we still have a big problem. All the solar production facilities in the entire world only make enough solar cells to produce about 350 megawatts, about enough for a city of 300,000 people. that's a drop in the bucket compared to our needs. California alone needs about 55,000 megawatts of electricity on a sunny, hot summer day. And the cost of producing that much electricity would be about four times more expensive than a regular natural gas-fired power plant.

So, even though the renewable power plant doesn't release air pollution or use precious fossil fuels, it still has an impact on the environment.

Wind power development too, has its downside, mostly involving land use. The average wind farm requires 17 acres of land to produce one megawatt of electricity, about enough electricity for 750 to 1,000 homes. However, farms and cattle grazing can use the same land under the wind turbines.

Wind farms could cause erosion in desert areas. Most often, winds farms affect the natural view because they tend to be located on or just below ridgelines. Bird deaths also occur due to collisions with wind turbines and associated wires. This issue is the subject of on-going research.

Producing geothermal electricity from the earth's crust tends to be localized. That means facilities have to be built where geothermal energy is abundant. There are several geothermal resource locations in California. The Geysers area north of San Francisco is an example. In the course of geothermal production, steam coming from the ground becomes very caustic at times, causing pipes to corrode and fall apart. Geothermal power plants sometimes cost a little bit more than a gas-fired power plant because they have to include the cost to drill.

Environmental concerns are associated with dams to produce hydroelectric power. People are displaced and prime farmland and forests are lost in the flooded areas above dams. Downstream, dams change the chemical, physical and biological characteristics of the river and land.

Unlike fossil fuels, which dirties the atmosphere, renewable energy has less impact on the environment Renewable energy production has some drawbacks, mainly associated with the use of large of tracts of land that affects animal habitats and outdoor scenery. Renewable energy development will result in jobs and less oil imported from foreign countries.


Note: For those working on a school assignment comparing renewable vs. non-renewable energy, we'd suggest creating a Pro and Con list for each energy source. That will give you a a way to compare the various energy resources.

Apr 27, 2005

Tentang Energi

Blog ini sekedar cerita tentang energi kita.
buat teman-teman yang berminat mempublish tulisan tentang energi di sini, silahkan kirim tulisannya ke awangriyadi@gmail.com

Awang Riyadi